Sebagaimana masyarakat Islam memiliki ciri khas dalam Fikrah (pemikiran) dan pemahamannya, maka mereka juga memiliki ciri khas dalam masalah perasaan dan kasih sayang.
Ada masyarakat yang senantiasa diliputi
oleh perasaan dengki atau sentimen rasial (kesukuan), ada lagi masyarakat yang
diliputi oleh fanatisme kebangsaan dan ada juga masyarakat yang diliputi oleh
rasa cinta tanah air yang membabi buta.
Kita jumpai masyarakat itu berbeda-beda
dalam mernberikan sikap mendukung atau memusuhi, mencintai atau membenci, dan
perasaan marah atau ridha (senang).
Adapun masyarakat lslam, mereka telah
memberikan wala' (loyalitas) sepenuhnya kepada lslam dan kaum Muslimin.
Sebagaimana mereka telah memberikan permusuhannya kepada musuh-musuh lslam dan
orang-orang yang memeranginya. Ini semua semata-mata tegak di atas prinsip
berwala' kepada Allah dan Rasul-Nya. Karena barangsiapa mengambil Allah sebagai
walinya, berarti dia telah menjadikan musuh Allah sebagai
musuhnya.
Masyarakat lslam memiliki keistimewaan
dalam hidupnya, yaitu selalu diliputi oleh persaudaraan yang kuat dan perasaan
cinta yang dalam di antara sesama mereka seluruhnya. Meskipun tempat tinggal
mereka berjauhan, tanah air mereka berpencaran, jenis dan warna kulit mereka
bermacam-macam, serta posisi dan status sosial mereka
berbeda-beda.
Sesungguhnya Allah SWT telah memberikan
kemuliaan kepada ummat lslam dengan nikmat persaudaraan, sebagaimana Allah telah
memberi karunia kepada mereka berupa keimanan, Allah SWT
berfirman:
"Dia-lah (Allah) yang memperkuatmu (Muhammad) dengan pertolongan-Nya dan dengan para mukmin, dan yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Jikalau kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (Al Anfal: 62-63)
Sesungguhnya tidak ada peluang dalam
masyarakat Islam yang benar bagi tumbuhnya perasaan benci dan pertarungan antar
kelas/tingkatan, tidak pula perasaan sombong dan sentimen antara jenis dan
warna, tidak pula perasaan fanatisme terhadap asal daerah dan bumi mana pun dari
bumi Islam, atau kaum yang mana pun dari kaum Muslimin, meskipun itu keluarga
dan kerabataya, karena tanah air seorang Muslim adalah Darul Islam dan keluarga
seorang Muslim adalah keluarga Islam.
Masjid Nabawi di Madinah, di bawah
atapnya telah terhimpun berbagai suku bangsa dengan beragam warna kulit dan
tingkatan manusia' tetapi mereka tidak memiliki perasaan apa-apa kecuali
perasaan bersaudara secara menyeluruh. Mereka tidak merasakan adanya perbedaan
antara satu sama lain. Ada yang dari Persi seperti Salman, ada yang dari Romawi
seperti Shuhaib, dan ada yang dan Habasyah (Etiopia) yaitu Bilal. Di antara
mereka ada yang kaya seperti Utsman bin 'Affan, Abdur Rahman bin 'Auf dan ada
yang fakir seperti Abu Dzar dan 'Ammar. Ada yang Badui (orang pegunungan) dan
ada yang dari kota, ada yang berpendidikan dan ada yang buta huruf, ada yang
berkulit putih dan ada yang berkulit hitam, laki-laki dan wanita, yang lemah dan
yang kuat, yang budak dan yang merdeka, semuanya bersaudara di bawah naungan
Islam dan di bawah panji Al Qur'an.
Sesungguhnya persaudaraan Islam itulah
perekat yang mengikat antara batu bata individu Muslim dalam sebuah bangunan
yang kokoh dan tidak mudah roboh. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits Rasulullah
SAW, muttafaqun 'alaih:
"Mukrmin yang satu terhadap mukmin yang lain itu bagaikan bangunan yang mengikat antara sebagian dengan sebagian yang lainnya." (HR. Muttafaqun 'Alaih)
Persaudaraan Islam bukanlah suatu
permasalahan sampingan dalam Islam, tetapi ia merupakan salah satu prinsip dasar
yang menyertai syahadah (persaksian) terhadap keesaan Allah dan kesaksian bahwa
Muhammad sebagai Rasul, karena ukhuwah merupakan buah dan konsekwensi keimanan,
Allah berfirman:
"Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara." (Al Hujurat: 10)
Diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Dawud,
bahwa Nabi SAW pernah berdoa setelah shalat dengan doa yang menarik berikut
ini:
"Ya Allah, ya Tuhan karni! dan Tuhan segala sesuatu dan pemiliknya, sesungguhnya saya bersaksi bahwa Engkau adalah Allah Yang Esa, tiada sekutu bagi-Mu. Ya Allah, ya Tuhan kami dan Tuhan segala sesuatu serta pemiliknya, saya bersaksi bahwa sesungguhnya Muhammad adalah hamba dan utusanMu. Ya Allah ya Tuhan kami dan Tuhan segala sesuatu serta pemiliknnya, saya bersaksi bahwa seluruh hamba-Mu itu bersaudara."
Inilah Muhammad, Rasulullah yang
bersaksi dan berikrar bahwa Allah adalah Rabb-nya segala sesuatu dan bahwa
sesungguhnya seluruh hamba Allah itu bersaudara. Inilah persaudaraan Islam,
mereka bersaudara dengan seluruh manusia secara umum dan bersaudara dengan kaum
Muslimin secara khusus.
Nabi SAW menjadikan persaudaraan dan
cinta sebagai syarat keimanan, di mana keimanan itu sendiri merupakan
persyaratan seseorang untuk dapat masuk surga. Beliau
bersabda:
"Demi Dzat yang diriku berada di tangan-Nya, sungguh kalian tidak akan masuk surga hingga kalian beriman, dan kalian tidak akan beriman hingga kalian saling menciritai." (HR. Muslim)"Belum sempurna iman salah seorang di antara kamu hingga ia mencintaii saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya." (HR. Muttafaqun 'Alaih)
Rasulullah SAW juga menjelaskan hubungan
seorang Muslim dengan Muslim yang lainnya dengan sabdanya:
"Seorang Muslim saudara Muslim lainnya, ia tidak menzhaliminnya, tidak menyerahkan (kepada musuh), tidak menghinanya dan tidak merendahkanrya, cukuplah bagi seseorang dikatakan buruk jika ia menghina saudaranya Muslim." (HR. Muslim)
Satu-satunya ikatan yang diakui oleh
Islam adalah ikatan persaudaraan antar kaum Muslimin, tanpa ikatan yang lainnya,
sungguh Islam telah memerangi fanatisme (kebanggaan) dengan segala macamnya,
kebanggaan terhadap kabilah atau kebangsaan, warna kulit, tanah air, tingkatan
atau golongan, atau selain itu yang pada umumnya dibanggakan oleh manusia,
kecuali kebanggan terhadap kebenaran yang ditegaskan oleh wahyu dan tegak
dengannya langit dan bumi.
Rasulullah SAW
bersabda:
"Bukan termasuk golongan kami orang yang menyeru pada ashabiyah (kebanggaan golongan), dan bukan termasuk golongan kami orang yang berperang karena ashabiyah, dan bukan termasuk golonganku orang yang mati karena ashabiyah." (HR. Abu Dawud)
Rasulullah SAW telah menggambarkan
masyarakat Islam sebagai masyarakat yang penuh mawaddah, saling mencintai den
saling kasih mengasihi sebagaimana dalam sabdanya:
"Kami, melihat orang-orang yang beriman itu dalam mencintai, lemah lembut dan saling mengasihi (di antara mereka) seperti tubuh yang satu, apabila ada anggota tubuh yang sakit, maka seluruh tubuh ikut sakit, demam dan tidak bisa tidur." (HR. Muslim)
Oleh karena itu masyarakat yang
orang-orangnya hidup secara sendiri-sendiri, tidak mau membantu atau merasakan
sakit orang lain dan tidak ikut merasakan kesusahan mereka serta tidak
bergembira dengan kegembiraan mereka maka bukanlah masyarakat
Islam.
Demikian juga dalam masyarakat, yang
kuat menekan yang lemah, yang kaya bersikap keras terhadap yang fakir, yang
punya bersikap pelit terhadap yang tidak punya bukanlah masyarakat Islam.
Reff : Sistem Masyarakat Islam dalam Al-qur'an dan Sunnah (Syaikh Yusuf Al-Qardhawi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar